Kampus Unand

Rabu, 21 Maret 2012

PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM PENGEMBANGAN TERNAK SAPI BALI

Sapi Bali (Sebutan digayo Lemu akang) merupakan ternak potong ( Bos sp. ) yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Peran bangsa sapi ini cukup besar dalam memenuhi kebutuhan daging nasional. Sapi bali dewasa dapat mencapai berat mencapai 300-494 kg dengan persentase karkasnya 56,9%, tinggi 1,05- 1,30 meter. Sapi bali sangat cocok dengan kondisi iklim Indonesia, berbeda jauh dengan sapi-sapi Eropa yang dikembangkan diindonesia seperti bangsa Brahman, simental, friest hostein yang umumnya sangat sensitive dengan suhu lingkungan yang ekstrim. Hal ini mungkin disebabkan oleh tempat asal ternak sapi ini yang merupakan ternak asli Indonesia. Beberapa kelebihan dimiliki sapi Bali terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, persentase karkas yang tinggi, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah, dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan mengingat Indonesia merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sapi Bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan.
Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar (sering terjadi inbreeding/ perkawinan sedarah), minimya pengetahuan tentang deteksi berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat. rendahnya angka kebuntingan sehingga menyebabkan jarak beranak (calving interval) yang terlalu panjang lebih dari 18 bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna.

Siklus berahi dan waktu yang tepat dikawinkan.
Siklus berahi adalah interval waktu mulai dari permulaan periode berahi yang pertama sampai ke periode berahi berikutnya. Ada tiga factor yang mempengaruhi variasi siklus estrus pada tiap-tiap individu ternak yaitu jenis ternak, umur dan spesies. Berahi yang dikenal dengan istilah estrus yaitu suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Kopulasi memungkinkan terjadinya kebuntingan dan kelahiran anak. Rata-rata siklus berahi sapi bali adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari selama 36 – 48 jam berahi dengan masa subur antara 12 – 27 jam dan menunjukkan berahi kembali setelah beranak ( pasca partum) antara 2-4 bulan. Tanda tanda berahi antara lain kondisi vulva (membengkak memerah dan hangat), mengeluarkan lendir bening, gelisah, nafsu makan menurun, ekor terangkat, diam dinaiki oleh ternak jantan maupun betina yang lain, melenguh-lenguh, dan berusaha untuk menaiki ternak lain. Biasanya tanda-tanda ini akan tampak pada pagi dan sore hari. Waktu yang tepat untuk dikawinkan adalah sekitar 8-12 jam setelah menunjukkan tanda ternak berahi atau dengan cara yang lebih sederhana jika ternak menunjukkan tanda- tanda berahi pagi hari, waktu yang tepat untuk dikawinkan adalah sore harinya, dan jika tanda- tanda berahi itu terlihat pada sore hari, maka waktu untuk dikawinkan pagi keesokan harinya.

Penggunaan Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan adalah salah satu bentuk bioteknologi dalam bidang reproduksi ternak yang merupakan proses mengawinkan ternak betina tanpa perlu disediakan pejantan yang utuh, tetapi dengan memasukkan spermatozoa untuk membuahi sapi betina birahi dengan menggunakan alat-alat khusus yang diciptakan manusia. Pelaksanaan dan penerapan IB dilapangan dimulai dari pemilihan bibit unggul sampai lahir anak yang mempunyai mutu genetik yang berkualitas. Kelebihan dari IB adalah memperbaiki mutu genetik, mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unngul secara meluas dan bisa digunakan dalam waktu lama, meminimalisir terjadinya kawin sedarah (Inbreeding) dan dapat mengatur jarak kelahiran anak dengan baik.

Optimasisasi Teknologi Inseminasi Buatan dengan Sinkronisasi Berahi
Teknologi sinkronisasi berahi (penyerentakan berahi) adalah suatu cara untuk menimbulkan gejala berahi secara bersama-sama pada suatu populasi atau dengan selang waktu yang berdekatan yang dapat diramalkan pada hewan. Penggunaan teknologi sinkronisasi berahi akan mampu untuk mengoptimalkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak. Disamping itu dapat juga mempermudah pelaksanaan inseminasi buatan. Tujuan Teknologi ini adalah untuk memanipulir proses reproduksi sehingga ternak akan terinduksi berahi dan proses ovulasinya, juga mempermudah pengamatan berahi dan dapat diinseminasi secara serentak atau dengan waktu yang berdekatan dan dengan hasil fertilitas yang normal. Teknik sinkronisasi dapat menggunakan hormon Progesteron maupun Prostaglandin. Penerapan dengan Prostaglandin lebih simpel dibandingkan dengan Progesteron karena waktu yang dibutuhkan lebih pendek. Beberapa peneliti mencoba mengoptimalkan teknologi ini dengan melakukan pemberian hormon lain seperti Luteinizing Hormon (LH) dan estradiol. belakangan ini dicoba dengan pemberian Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) dan hCG. metode Sinkronisasi yang dikombinasikan dengan sinkronisasi ovulasi dengan penambahan hormon GnRH atau hCG setelah injeksi prostaglandin meningkatkan ovulasi. pemberian hormon GnRH atau hCG merangsang sekresi hormon gonadotropin untuk merangsang perkembangan folikel dominan agar terovulasi. prinsipnya penggunaan prostaglandin (PGF2a) harus pada ternak yang sudah mempunyai corpus luteum sehingga corpus luteum akan teregresi, aibatnya produksi progesteron yang disekresikan oleh CL akan turun secara drastis. hormon GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus akan merangsang sekresi Hormon LH dan FSH yang bertanggung jawab dalam pembentukan folikel dan ovulasi. selain meningkatkan ovulasi, hormon hCG juga berperan untuk memperpanjang masa hidup corpus luteum, peningkatan sintesis progesteron, induksi ovulasi pada keseluruhan siklus estrus dan membantu pembentukan korpus luteum asesoris ketika diberikan pada awal fase luteal Aktivitas LH yang dikandungnya menyebabkan hCG bersifat luteotropik dan memperpanjangan fungsi corpus luteum beberapa hari, sehingga dapat meningkatkan kebuntingan. hasil penelitian Situmorang dan Siregar (1997) menunjukkan bahwa pemberian hCG 42-47 jam setelah penyuntikan Prostaglandin mempercepat estrus, sedangkan pemberian hCG 57-60 jam setelah penyuntikan prostaglandin dapat lebih menyeragamkan estrus dan ovulasi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada ternak yang disinkronisasi dengan Prostaglandin tanpa hCG, interval pemberian prostaglandin dan gejala estrus dan ovulasi cendrung lebih panjang dan variasinya juga besar.
Ada dua cara melakukan sinkronisasi berahi yaitu dengan intramuscular dan intra uterin. Dosis hormon di sesuaikan dengan kebutuhan dan batas maksimal pemakaian dari produk. Bedasarkan hasil dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa dosis yang diberikan mempengaruhi onset dan persentase estrus, smakin tinggi dosis yang digunakan maka berahi pada ternak semakin cepat terjadi.